JAKARTA, AFKNNEWS–Presiden Al Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN) KH MZ Fadzlan Rabbani Garamatan mengatakan di mata Allah berdakwah adalah pekerjaan bergengsi. Hal ini disampaikan Kiai Fadzlan pada kajian Hari Ber-Muhammadiyah ke-9 PDM Jakarta Barat, Sabtu (9/11/2024) lalu.

“Tidak ada pekerjaan yang paling bergengsi di dunia ini selain berdakwah. Konsekuensinya kita diusir, dipanah, ditombak, dipenjara. Tapi semuanya itu adalah kapsul-kapsul energi dakwah agar dakwah tidak boleh padam,” kata Kiai Fadzlan kepada jemaah yang memadati Masjid Muhammadiyah Al Isro, Grogol, Jakarta Barat.

Menurut Kiai Fadzlan, apapun risikonya dakwah tidak boleh berhenti. Dakwah itu harus seperti air yang mengalir.

“Ketika di bumi ini tidak ada air, maka di bumi, alam semesta beserta isinya kehausan. Begitu juga dengan dakwah,” ungkap dai nasional asal Fakfak, Papua Barat ini.

Dakwah memang penuh risiko. Kiai Fadzlan berbagi kisah saat ia berdakwah di pedalaman Papua mengalami kekerasan fisik. Termasuk Kiai Fadzlan pernah merasakan dinginnya lantai penjara selama lebih dari satu tahun.

Kisahnya bermula manakala Kiai Fadzlan bersama rombongan dai hendak mengenalkan Islam kepada kepala suku di wilayah pedalaman.

“Pernah suatu ketika, saya mengunjungi ketua adat. Dan dia sudah buka pintu. Tapi tangan kanannya masih berada di balik pintu,” cerita Kiai Fadzlan.

Tampaknya tangan kanan kepala suku yang berada di balik pintu tengah memegang sesuatu. Kiai Fadzlan mendekat beberapa meter ke arah pintu.

“Saya mengucapkan selamat siang. Ternyata beliau ambil tombak dan melepas tombak ke arah saya. Saya loncat. Alhamdulillah tombak kena di betis kaki kiri saya dan saya terjatuh,” jelas Kiai Fadzlan.

Ketika Kiai Fadzlan terjatuh, rombongan dai bermaksud hendak melakukan perlawanan. Tapi ditahan oleh Kiai Fadzlan.

“Teman-teman dai yang ikut. 19 orang itu ingin melakukan perlawanan. Dan saya berteriak, ‘Kita ke sini bukan berperang. Kita ke sini berdakwah.’,” kata Kiai Fadzlan.

Akhirnya Kiai Fadzlan dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan luka.

Bersyahadat

Setelah tiga bulan penyembuhan luka, Kiai Fadzlan berniat kembali ke kampung itu.

“Ayo kita kembali ke kampung itu. Dai-dai itu mengatakan kami tidak ikut. Kenapa kalian tidak ikut? Ya, Ustaz sudah ditombak untuk apa kita ke sana,” ujar Kiai Fadzlan.

Kepada dai-dai, Kiai Fadzlan mengingatkan agar dalam berdakwah jangan membangun kebencian kepada manusia.

“Tugas kita berdakwah. Kalau kalian tidak ikut, maka saya sendirian akan ke sana. Kalau ada orang syahadat, saya sendiri masuk surga dan kalian tidak dapat apa-apa. Akhirnya mereka mengatakan ikut,” kata Kiai Fadzlan.

Selepas turun dari mobil, ia dan rombongan menuju rumah kepala suku. Di sana sudah ada anak tertua yang berdiri di depan rumah

“Saya tanya ada bapak kepala suku? Anaknya mengatakan, bapak kepala suku terserang penyakit malaria. Kami mau bawa ke kota (tapi) tidak punya mobil, tidak punya uang,” katanya.

Kiai Fadzlan berinisiatif membawa kepala suku ke kota untuk mendapat perawatan. Tetapi lagi-lagi rombongan dai sempat menolak.

“Kita akan bawa kepala suku ke rumah sakit. Teman-teman mengatakan biarkan saja dia mati di kampung ini. Hei, kita ini dakwah,” kata Kiai Fadzlan.

Singkat cerita. Kepala suku dibawa ke rumah sakit menggunakan mobil. Selama dua pekan di rumah sakit, kepala suku sembuh dari malaria.

“Setelah itu kami kasih fasilitas dan kami bawa pulang ke rumah. Setelah turun dari mobil, kepala suku bilang anak tidak boleh pulang ya,” ujar Kiai Fadzlan.

Sang kepala suku menyampaikan keinginan untuk belajar Islam. Satu minggu kemudian, Kiai Fadzlan beserta rombongan mulai datang berdakwah di sana.

“Subhanallah, baru tiga hari kami bicara Islam, kepala suku ini bersama istri dan 13 anak ditambah 15 kepala keluarga di kampung itu hijrah mengucapkan dua kalimat syahadat,” kisahnya.

Rupanya cerita kepala suku beserta 15 KK bersyahadat bikin heboh masyarakat. Bahkan terdengar hingga Jayapura.

Kiai Fadzlan dianggap bersalah. Ia kemudian mendekam di dalam penjara. Di penjara justru Kiai Fadzlan mendapat lahan dakwah baru.

“Saya dipenjara selama enam bulan. Di penjara ada lahan dakwah lagi. 60 orang syahadat,” kata Kiai Fadzlan.

Kemudian ia dikeluarkan. Lagi-lagi Kiai Fadzlan tidak kapok. Selepas keluar penjara, ia mensyahadatkan 30 KK.

“Saya ditahan lagi, menginap di penjara selama sembilan bulan. Saya menikmati itu,” ungkap Kiai Fadzlan.

Tiga kali Kiai Fadzlan keluar masuk penjara. Ia menceritakan, pada hari terakhir di penjara, dirinya didatangi oleh aparat yang menjebloskan tiga kali ke penjara. Kiai Fadzlan dimaki-maki oleh aparat itu.

“Kenapa Anda tidak takut dengan penjara ini? Tiap minggu, tiap bulan tiap tahun wajahmu saja yang ada di ruangan ini,” ujar Kiai Fadzlan meniru perkataan aparat tersebut.

Kiai Fadzlan balas dengan senyuman. Justru ia mengucapkan terima kasih.

“Saya ucapkan terima kasih. Saya dipenjara pagi siang sore malam berdoa kepada Allah, baca kitab suci Allah. Kalau saya di luar, silaturahmi kemana-mana kekuatan baca Alquran saya sedikit. Tetapi ketika di dalam kekuatan Alquran lebih tinggi,” ujar Kiai Fadzlan.

Di tengah perkataan, Kiai Fadzlan menyelipkan hikmah yang membuat aparat itu termenung. Bahwa segala perbuatan manusia di dunia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Apalagi, kata Kiai Fadzlan, dirinya bukan pelaku tindak kriminal yang mesti dipenjara.

“Saya bilang ke Abang. Tapi nanti suatu saat abang ditangkap oleh Allah dan akan disiksa oleh Allah habis-habisan. Karena saya bukan maling, bukan pembunuh, bukan provokator, bukan pengkhianat. Tugas saya hanya mencerdaskan orang di negeri ini agar menyembah Allah,” kata Kiai Fadzlan kepada aparat itu.

Keluar dari penjara, Kiai Fadzlan justru diajak ke rumah aparat itu.

“Alhamdulillah justru dia bawa saya ke rumahnya. Dia minta diceritakan kepada keluarga nya tentang Islam. Delapan jam kemudian, orang yang kasih masuk saya ke penjara tiga kali mengucapkan syahadat bersama istri dan anak-anaknya,” ujar Kiai Fadzlan.*